
Beliau dilahirkan di Mlangi Desa Nogotirto Kec. Gamping Sleman Yogyakarta pada 3 Januari 1951 dari pasangan suami istri yaitu kyai Dawam dan Nyai Abidah, dimana nasab keduanya bertemu di satu jalur yaitu sama-sama merupakan keturunan dari simbah Nur Iman Mlangi, yang merupakan putra mahkota yang sebenarnya kraton yogyakarta, kakak dari Hamengkubuwono ke I. yang kemudian menyerahkan tahta kepada adiknya, serta memilih hidup mandito dan menyebarkan islam serta membangun surau dan pesantren di desa mlangi tersebut, sehingga tidak heran kyai djudan kecil sangat kental dan akrab sekali dengan tradisi pesantren semenjak lahir , dimasa-masa kecil sampai menginjak usia dewasa.
Nasab
Dari segi nasab, beliau termasuk berdarah biru karena termasuk keturunan langsung dari Raden Sandiyo (simbah NurIman Mlangi) yang merupakan putra mahkota sebenarnya kerajaan yogyakarta.
Silsilah beliau adalah sebagai berikut : Kyai Muhammad Djudan Dawam bin KH.Dawam bin Kyai Kabir bin Simbah Sangidu bin Simbah Romli bin Raden Syahid (simbah salim) bin Simbah Nur Iman / Raden Sandiyo (kakak Hamengkubuwono ke 1)
Masa Kecil
Meskipun kyai Djudan termasuk keluarga berdarah biru, masa kecilnya dilalui dengan kehidupan yang sederhana, semenjak umur 2 tahun sudah ditinggal wafat oleh ibundanya, sehingga tinggal dan diasuh oleh salah satu kakek beliau yaitu mbah Zaidi, sampai umur remaja beliau kemudian tinggal dengan pamannya simbah nashar. sampai akhirnya belaiu menikah.
Masa menuntut Ilmu
Setelah menyelesaikan pendidikan PGA, atas perintah simbah Kyai Sirruddin, beliau melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Al Rasyid Desa Ngumpak Dalem Kec. Dander Bojonegoro yang diasuh oleh Kyai Masyhur dan Kyai Sajidul Murtadlo . Dan setelah beberapa lama menimba ilmu di Bojonegoro tersebut, akhirnya kembali lagi ke mlangi, dan khidmah untuk menjadi pengajar di Ponpes Al Miftah sampai menikah.
Selain itu, Almaghfurlah juga sempat menyelesaikan pendidikan strata 1 nya ketika sudah menikah dan menetap di banyumas, yaitu di Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Huda Al-Azhar (STAIMA) Citangkolo Banjar pada tahun 2007.
Dari sini bisa terlihat sekali, betapa besarnya minat beliau terhadap ilmu pengetahuan, baik formal maupun non formal.
Masa Pernikahan
Beliau mempersunting seorang santri desa bernama Siti masrifah, kelahiran Kedungwangkal Banjarparakan Rawalo Banyumas 15 Pebruari 1968. yang akhirnya di daerah inilah keduanya bahu membahu berjuang memajukan pendidikan agama, sehingga bisa mendirikan sebuah pesantren di desa tersebut. ibu nyai masyrifah adalah termasuk keturunan tokoh yang disegani di desanya, ayahnya adalah tokoh terkaya saat itu yang sangat dermawan dan suka membantu sesama, meskipun begitu masyrifah muda tetap hidup dalam kesederhanaan dan tekun mengaji serta membantu keluarga. Dari garis ibu beliau adalah putri dari simbah Kartini yang merupakan keturunan dari simbah KH. Nahrowi, tokoh penyebar islam pertama di kedungwangkal sekaligus penggagas dan pendiri cikal bakal Masjid Nurul Huda Kedungwangkal.
Dari pernikahan tersebut mendapatkan karunia 4 keturunan, 2 putra dan 2 putri, yaitu :
1. Agus Muhammad Rif’an Muhajirin, menikah dengan Ning Laily Khumaeroh, dikaruniai 3 putri (Aish Basima Balqis, Ajla Basima Billah, Aqra Basima Bahira)
2. Ning Abidah Nafis, menikah dengan Agus Arif Susandi, dikaruniai 2 putri ( Farzana Zukhruf Kasyfan Naja / Fazka, Hizbina Nadzfa Tajur Rayyan / Binta)
3. Ning Khilyatul Jannah, menikah dengan Agus Abdul Basith, dikaruniai 1 putri ( Fukaina Zidna Ilma)
4. Agus Muhammad Zaky Makarim Al Manshibi.
Perjuangan membangun pondok pesantren
Setelah menikah dan menetap di kedungwangkal, selain berdagang, al maghfurlah sangat aktif mengikuti organisasi keagamaan, beliau aktif menjadi pengurus NU setempat, mengajar di Madrasah Tsanawiyah Ma’arif NU Banjarparakan, juga istiqamah mengajar mengaji TPQ di masjid, sampai para remaja desa yang masih ingin mengaji kitab kuning di malam hari. Dari banyaknya santri desa / santri kalong yang memiliki minat besar mengaji pada malam hari, menginap di ndalem dan masjid serta pulang pada pagi harinya, hal ini diketahui pula oleh guru spiritual beliau yaitu simbah Kyai Sobari Tunjung. akhirnya melalui titah sang guru, al maghfurlah membulatkan niat dan tekat untuk mulai merintis pembangunan Pondok Pesantren Miftahul Huda Nurul Iman, berkat hasil menjual tanah yang sejatinya ingin digunakan untuk biaya pemberangkatan putra pertama beliau agus rif’an muhajirin ke Kairo Mesir, akhirnya uang tersebut dipergunakan untuk membangun asrama putra di depan Masjid Nurul Huda Kedungwangkal.
Berdasarkan penuturan H Sholeh / H. Kisam, tokoh guru agama asal jongkeng Banjarparakan Rawalo sekaligus shahib karib Kyai Djudan, cerita pembangunan pesantren itu dimulai ketika Kyai Muhammad Djudan melalukan ziarah bersama Simbah Kyai Sobari Tunjung dan H. Sholeh (H.Kisam) ke makam Syaikh Mahfudh selok (tokoh pejuang kemerdekaan keturunan Syaikh Kahfi asal Sumolangu Lermah Abang Kebumen), sang pendiri pondok sumolangu Kebumen.
Setelah selesai melaksanakan ziarah tersebut tiba-tiba sang guru, kyai Sobari Tunjung berkata “Mas djudan, wes wayahe gawe pondok, insya Allah arep ono pondok sing rejo ning perek kali tajum” ( mas djudan, sudah saatnya membangun pondok, insya Allah akan ada pondok yang rame / berkembang pesat di dekat sungai tajum). setelah di dawuhi oleh guru beliau tersebut akhirnya berbekal sami’na wa atha’na terhadap perintah sang guru, kyai djudan membulatkan tekat dan niat untuk memulai merintis pembangunan pondok pesantren Miftahul Huda Nurul Iman pada tahun 2004 dan diresmikan pada tanggal 22 Robi’ul Awwal 1426 H. dalam merintis pembangunan tersebut al maghfurlah sempat mendapatkan ijazah wirid melalui pengalaman ghaib , yaitu dzikir “ Hasbunallah wa ni’mal wakil “, yang sampai saat ini masih rutin di istiqamahkan sebagai wirid oleh para santri setelah shalat maghrib dan ketika mujahadah setiap hari.
Masa Akhir Hayat
0 comments:
Posting Komentar
kritik saran silahkan tinggalkan, kami dengan senang hati untuk memperbaiki