![]() |
wikipedia |
Nabi Ibrahim as mendapatkan tempat khusus di sisi Allah SWT. Ibrahim termasuk salah satu nabi ulul azmi di antara lima nabi di mana Allah SWT mengambil dari mereka satu perjanjian yang berat. Kelima nabi itu adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw—sesuai dengan urutan diutusnya mereka. Ibrahim adalah seorang nabi yang diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang jelas. Yaitu ujian di atas kemampuan manusia biasa. Meskipun menghadapi ujian dan tantangan yang berat, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sebagai seorang hamba yang menepati janjinya dan selalu menunjukan sikap terpuji. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. "
(QS. an-Najm: 37)
Allah SWT menghormati Ibrahim dengan penghormatan yang
khusus. Allah SWT menjadikan agamanya sebagai agama tauhid yang murni dan suci
dari berbagai kotoran, dan Dia menjadikan akal sebagai alat penting dalam
menilai kebenaran bagi orang-orang yang mengikuti agama-Nya. Allah SWT
berfirman:
"Dan tidak ada yang bend kepada agama Ibrahim,
melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri dan sungguh Kami telah
memilihnya di dunia dan sesungguhnya Dia di akhirat benar-benar termasuk orang
yang saleh." (QS. al-Baqarah: 130)
Allah SWT memuji Ibrahim dalam flrman-Nya:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). " (QS. an-Nahl:
120)
Termasuk keutamaan Allah SWT yang diberikan-Nya kepada
Ibrahim adalah, Dia menjadikannya sebagai imam bagi manusia dan menganugrahkan
pada keturunannya kenabian dan penerimaan kitab (wahyu). Oleh karena itu, kita
dapati bahwa setiap nabi setelah Nabi Ibrahim as adalah anak-anak dan
cucu-cucunya. Ini semua merupakan bukti janji Allah SWT kepadanya, di mana Dia
tidak mengutus seorang nabi kecuali datang dari keturunannya. Demikian juga
kedatangan nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw, adalah sebagai wujud
dari terkabulnya doa Nabi Ibrahim yang diucapkannya kepada Allah SWT di mana ia
meminta agar diutus di tengah-tengah kaum yang umi seorang rasul dari mereka.
Ketika kita membahas keutamaan Nabi Ibrahim dan penghormatan yang Allah SWT
berikan kepadanya, niscaya kita akan mendapatkan hal-hal yang menakjubkan.
Kita di hadapan seorang manusia dengan hati yang suci.
Manusia yang ketika diperintahkan untuk menyerahkan diri ia pun segera berkata,
bahwa aku telah menyerahkan diriku kepada Pengatur alam semesta. Ia adalah
seorang Nabi yang pertama kali menama kan kita sebagai al-Muslimin (orang-orang
yang menyerahkan diri). Seorang Nabi yang doanya terkabul dengan diutusnya
Muhammad bin Abdillah saw. la adalah seorang Nabi yang merupakan kakek dan ayah
dari pada nabi yang datang setelahnya. Ia seorang Nabi yang lembut yang penuh
cinta kasih kepada manusia dan selalu kembali kepada jalan kebenaran. Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang
penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah." (QS. Hud: 75)
"(Yaitu): Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim."
(QS. as-Shaffat: 109)
Demikianlah Allah SWT sebagai Pencipta memperkenalkan
hamba-Nya Ibrahim. Tidak kita temukan dalam kitab Allah SWT penyebutan seorang
nabi yang Allah SWT angkat sebagai kekasih-Nya kecuali Ibrahim. Hanya ia yang
Allah SWT khususkan dengan firman-Nya:
"Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya." (QS. an-Nisa': 125) Para ulama berkata bahwa al-Hullah
adalah rasa cinta yang sangat. Demikianlah pengertian dari ayat tersebut. Allah
SWT mengangkat Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Ini merupakan suatu kedudukan yang
mulia dan sangat tinggi. Di hadapan kedudukan yang tinggi ini, Ibrahim duduk
dan merenung: aku telah memperoleh dan apa yang aku peroleh. Hati apakah yang
ada di dalam diri Nabi Ibrahim, rahmat apa yang diciptakan, dan kemuliaan apa
yang dibentuk, dan cinta apa yang diberikan. Sesungguhnya puncak harapan para
pejalan rohani dan tujuan akhir para sufi adalah "merebut" cinta
Allah SWT. Bukankah setiap orang membayangkan dan mengangan-angankan untuk mendapatkan
cinta dari Allah SWT? Demikianlah harapan setiap manusia.
Nabi Ibrahim adalah seorang harnba Allah SWT yang berhak
diangkat-Nya menjadi al-Khalil (kekasih Allah SWT). Itu adalah derajat dari
derajat-derajat kenabian yang kita tidak mengetahui nilainya. Kita juga tidak
mengetahui bagaimana kita menyifatinya. Berapa banyak pernyataan-pernyataan
manusia berkaitan dengan hal tersebut, namun rasa-rasanya ia laksana penjara
yang justru menggelapkannya. Kita di hadapan karunia Ilahi yang besar yang
terpancar dari cahaya langit dan bumi. Adalah hal yang sangat mengagumkan bahwa
setiap kali Nabi Ibrahim mendapatkan ujian dan kepedihan, beliau justru
menciptakan permata. Adalah hal yang sangat mengherankan bahwa hati yang suci
ini justru menjadi matang sejak usia dini.
Al-Qur'an al-Karim tidak menceritakan tentang proses
kelahirannya dan masa kecilnya. Kita mengetahui bahwa di masa Nabi Ibrahim
manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyembah patung-patung
yang terbuat dari kayu dan batu. Kelompok kedua menyembah bintang dan bulan dan
kelompok ketiga menyembah raja-raja atau penguasa. Cahaya akal saat itu padam
sehingga kegelapan memenuhi segala penjuru bumi. Akhirnya, kehausan bumi untuk
mendapatkan rahmat dan kelaparannya terhadap kebenaran pun semakin meningkat.
Dalam suasana yang demikianlah Nabi Ibrahim dilahirkan. Ia dilahirkan dari
keluarga yang mempunyai keahlian membuat patung atau berhala. Disebutkan bahwa
ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan kemudian ia diasuh oleh pamannya di mana
pamannya itu menduduki kedudukan ayahnya. Nabi Ibrahim pun memanggil dengan
sebutan-sebutan yang biasa ditujukan kepada seorang ayah. Ada juga ada yang
mengatakan bahwa ayahnya tidak meninggal dan Azar adalah benar-benar ayahnya.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Azar adalah nama salah satu patung yang
cukup terkenal yang dibuat oleh ayahnya. Alhasil, Ibrahim berasal dari keluarga
semacam ini. Kepala keluarga Ibrahim adalah salah seorang seniman yang terbiasa
memahat patung-patung sehingga profesi si ayah mendapatkan kedudukan istimewa
di tengah-tengah kaumnya. Keluarga Nabi Ibrahim sangat dihormati. Dalam bahasa
kita saat ini bisa saja ia disebut dengan keluarga aristokrat. Dari keluarga
semacam ini lahir seorang anak yang mampu menentang penyimpangan dari
keluarganya sendiri, dan menentang sistem masyarakat yang rusak serta melawan
berbagai macam ramalan para dukun, dan menentang penyembahan berhala dan
bintang, serta segala bentuk kesyirikan. Akhirnya, beliau mendapatkan ujian
berat saat beliau dimasukkan ke dalam api dalam keadaan hidup-hidup. Kita tidak
ingin mendahului peristiwa tersebut. Kami ingin memulai kisah Nabi Ibrahim
sejak masa kecilnya. Nabi Ibrahim adalah seseorang yang akalnya cemerlang sejak
beliau berusia muda. Allah SWT menghidupkan hatinya dan akalnya dan memberinya
hikmah sejak masa kecilnya.
Nabi Ibrahim mengetahui saat beliau masih kecil bahwa
ayahnya seseorang yang membuat patung-patung yang unik.[1] Pada suatu hari, ia
bertanya terhadap ciptaan ayahnya kemudian ayahnya memberitahunya bahwa itu
adalah patung-patung dari tuhan-tuhan. Nabi Ibrahim sangat keheranan melihat
hal tersebut, kemudian timbul dalam dirinya—melalui akal sehatnya—penolakan
terhadapnya. Uniknya, Nabi Ibrahim justru bermain-main dengan patung itu saat
ia masih kecil, bahkan terkadang ia menunggangi punggung patung-patung itu
seperti orang-orang yang biasa menunggang keledai dan binatang tunggangan
lainya. Pada suatu hari, ayahnya melihatnya saat menunggang punggung patung
yang bernama Mardukh. Saat itu juga ayahnya marah dan memerintahkan anaknya
agar tidak bermain-main dengan patung itu lagi.
Ibrahim bertanya: "Patung apakah ini wahai ayahku?
Kedua telinganya besar, lebih besar dari telinga kita." Ayahnya menjawab:
"Itu adalah Mardukh, tuhan para tuhan wahai anakku, dan kedua telinga yang
besar itu sebagai simbol dari kecerdasan yang luar biasa." Ibrahim tampak
tertawa dalam dirinya padahal saat itu beliau baru menginjak usia tujuh tahun.
Injil Barnabas melalui lisan Nabi Isa menceritakan kepada
kita, bahwa Nabi Ibrahim mengejek ayahnya saat beliau masih kecil. Suatu hari,
Ibrahim bertanya kepada ayahnya: "Siapa yang menciptakan manusia wahai
ayahku?" Si ayah menjawab: "Manusia, karena akulah yang membuatmu dan
ayahku yang membuat aku." Ibrahim justru menjawab: "Tidak demikian
wahai ayahku, karena aku pernah mendengar seseorang yang sudah tua yang
berkata: "Wahai Tuhanku mengapa Engkau tidak memberi aku anak." Si
ayah berkata: "Benar wahai anakku, Allah yang membantu manusia untuk
membuat manusia namun Dia tidak meletakkan tangan-Nya di dalamnya. Oleh karena
itu, manusia harus menunjukkan kerendahan di hadapan Tuhannya dan memberikan
kurban untuk-Nya." Kemudian Ibrahim bertanya lagi: "Berapa banyak
tuhan-tuhan itu wahai ayahku?" Si ayah menjawab: "Tidak ada jumlahnya
wahai anakku." Ibrahim berkata: "Apa yang aku lakukan wahai ayahku
jika aku mengabdi pada satu tuhan lalu tuhan yang lain membenciku karena aku
tidak mengabdi pada-Nya? Bagaimana terjadi persaingan dan pertentangan di
antara tuhan? Bagaimana seandainya tuhan yang membenciku itu membunuh tuhanku?
Boleh jadi ia membunuhku juga."
Si ayah menjawab dengan tertawa: "Kamu tidak perlu
takut wahai anakku, karena tidak ada permusuhan di antara sesama tuhan. Di
dalam tempat penyembahan yang besar terdapat ribuan tuhan dan sampai sekarang
telah berlangsung tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, belum pernah kita
mendengar satu tuhan memukul tuhan yang lain." Ibrahim berkata:
"Kalau begitu terdapat suasana harmonis dan kedamaian di antara
mereka."Si ayah menjawab: "Benar."
Ibrahim bertanya lagi: "Dari apa tuhan-tuhan itu
diciptakan? Orang tua itu menjawab: "Ini dari kayu-kayu pelepah kurma, itu
dari zaitun, dan berhala kecil itu dari gading. Lihatlah alangkah indahnya.
Hanya saja, ia tidak memiliki nafas." Ibrahim berkata: "Jika para
tuhan tidak memiliki nafas, maka bagaimana mereka dapat memberikan nafas? Bila
mereka tidak memiliki kehidupan bagiamana mereka memberikan kehidupan? Wahai
ayahku, pasti mereka bukan Allah." Mendengar ucapan Ibrahim itu, sang ayah
menjadi berang dan marah sambil berkata: "Seandainya engkau sudah dewasa
niscaya aku pukul dengan kapak ini."
Ibrahim berkata: "Wahai ayahku, jika para tuhan
mambantu dalam penciptaan manusia, maka bagaimana mungkin manusia menciptakan
tuhan? Jika para tuhan diciptakan dari kayu, maka membakar kayu merupakan
kesalahan besar, tetapi katakanlah wahai ayahku, bagaimana engkau menciptakan
tuhan-tuhan dan membuat baginya tuhan yang cukup baik, namun bagaimana
tuhan-tuhan membantumu untuk membuat anak-anak yang cukup banyak sehingga
engkau menjadi orang yang paling kuat di dunia?"
Selesailah dialog antara Ibrahim dan ayahnya dengan
terjadinya pemukulan oleh si ayah terhadap Ibrahim. Kemudian berlalulah hari
demi hari dan Ibrahim menjadi besar. Sejak usia anak-anak, hati Ibrahim menanam
rasa benci terhadap patung-patung yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Ibrahim
tidak habis mengerti, bagaimana manusia yang berakal membuat patung-patung
dengan tangannya sendiri kemudian setelah itu ia sujud dan menyembah terhadap
apa yang dibuatnya.
Ibrahim memperhatikan bahwa patung-patung tersebut tidak
makan dan minum dan tidak mampu berbicara, bahkan seandainya ada seseorang yang
membaliknya ia tidak mampu bangkit dan berdiri sebagaimana asalnya. Bagaimana
manusia membayangkan bahwa patung-patung tersebut dapat mendatangkan bahaya dan
memberikan manfaat? Pemikiran ini banyak merisaukan Ibrahim dalam tempo yang
lama. Apakah mungkin semua kaumnya bersalah sementara hanya ia yang benar?
Bukankah yang demikian ini sangat mengherankan?
Kaum Nabi Ibrahim mempunyai tempat penyembahan yang besar
yang dipenuhi berbagai macam berhala. Di tengah-tengah tempat penyembahan itu
terdapat mihrab yang diletakkan di dalamnya patung-patung yang paling besar.
Ibrahim mengunjungi tempat itu bersama ayahnya saat ia masih kecil. Ibrahim
memandang berhala-berhala yang terbuat dari batu-batuan dan kayu itu dengan
pandangan yang menghinakan. Hal ini sangat mengherankan masyarakat pada saat
itu karena saat memasuki tempat penyembahan itu, mereka menampakkan ketundukan
dan kehormatan di hadapan patung-patung. Bahkan mereka mengangis dan memohon
berbagai macam hal. Seakan-akan patung-patung itu mendengar apa yang mereka
keluhkan dan bicarakan.
Mula-mula pemandangan tersebut membuat Ibrahim tertawa
kemudian lama-lama Ibrahim marah. Hal yang mengherankan baginya bahwa
manusia-manusia itu semuanya tertipu, dan yang semakin memperumit masalah
adalah, ayah Ibrahim ingin agar Ibrahim menjadi dukun saat ia besar. Ayah
Ibrahim tidak menginginkan apa-apa kecuali agar Ibrahim memberikan penghormatan
kepada patung-patuung itu, namun ia selalu mendapati Ibrahim menentang dan
meremehkan patung-patung itu. Pada suatu hari Ibrahim bersama ayahnya masuk di
tempat penyembahan itu. Saat itu terjadi suatu pesta dan perayaan di hadapan
patung-patung, dan di tengah-tengah perayaan tersebut terdapat seorang tokoh
dukun yang memberikan pengarahan tentang kehebatan tuhan berhala yang paling
besar. Dengan suara yang penuh penghayatan, dukun itu memohon kepada patung
agar menyayangi kaumnya dan memberi mereka rezeki. Tiba-tiba keheningan saat
itu dipecah oleh suara Ibrahim yang ditujukan kepada tokoh dukun itu: "Hai
tukang dukun, ia tidak akan pernah mendengarmu. Apakah engkau meyakini bahwa ia
mendengar?" Saat itu manusia mulai kaget. Mereka mencari dari mana asal
suara itu. Ternyata mereka mendapati bahwa suara itu suara Ibrahim. Lalu tokoh
dukun itu mulai menampakkan kerisauan dan kemarahannya. Tiba-tiba si ayah
berusaha menenangkan keadaan dan mengatakan bahwa anaknya sakit dan tidak
mengetahui apa yang dikatakan.
Lalu keduanya keluar dari tempat penyembahan itu. Si ayah
menemani Ibrahim menuju tempat tidurnya dan berusaha menidurkannya dan
meninggalkannya setelah itu. Namun, Ibrahim tidak begitu saja mau tidur ketika
beliau melihat kesesatan yang menimpa manusia. Beliau pun segera bangkit dari
tempat tidurnya. Beliau bukan seorang yang sakit. Beliau merasa dihadapkan pada
peristiwa yang besar. Beliau menganggap mustahil bahwa patung-patung yang
terbuat dari kayu-kayu dan batu-batuan itu menjadi tuhan bagi kaumnya. Ibrahim
keluar dari rumahnya menuju ke gunung. Beliau berjalan sendirian di tengah
kegelapan. Beliau memilih salah satu gua di gunung, lalu beliau rnenyandarkan
punggungnya dalam keadaan duduk termenung. Beliau memperhatikan langit. Beliau
mulai bosan memandang bumi yang dipenuhi dengan suasana jahiliyah yang
bersandarkan kepada berhala.
Tidak lama setelah Nabi Ibrahim memperhatikan langit
kemudian beliau melihat-lihat berbagai bintang yang disembah di bumi. Saat itu
hati Nabi Ibrahim—sebagai pemuda yang masih belia— merasakan kesedihan yang
luar biasa. Lalu beliau melihat apa yang di belakang bulan dan bintang. Hal itu
sangat mengagumkannya. Mengapa manusia justru menyembah ciptaan Tuhan? Bukankah
semua itu muncul dan tenggelam dengan izin-Nya. Nabi Ibrahim mengalami dialog
internal dalam dirinya. Allah SWT menceritakan keadaan ini dalam surah
al-An'am: "Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar:
'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya
aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.' Dan demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit
dan di bumi, dan Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
'Inilah Tuhanku,' tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: 'Saya
tidak suka kepada yang tenggelam.'" (QS. al-An'am: 74-76)
Al-Qur'an tidak menceritakan kepada kita peristiwa atau
suasana yang dialami Ibrahim saat menyatakan sikapnya dalam hal itu, tapi kita
merasa dari konteks ayat tersebut bahwa pengumuman ini terjadi di antara
kaumnya. Dan tampak bahwa kaumnya merasa puas dengan hal tersebut. Mereka
mengira bahwa Ibrahim menolak penyembahan berhala dan cenderung pada
penyembahan bintang. Kita ketahui bahwa di zaman Nabi Ibrahim manusia menjadi
tiga bagian. Sebagian mereka menyembah berhala sebagian lagi menyembah
bintang, dan sebagian yang lain menyembah para raja. Namun di saat pagi, Nabi
Ibrahim mengingatkan kaumnya dan membikin mereka terkejut di mana
bintang-bintang yang diyakininya kemarin kini telah tenggelam. Ibrahim
mengatakan bahwa ia tidak menyukai yang tenggelam. Allah SWT berfirman:
"Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku.'" (QS. al-An'am: 76) Ibrahim
kembali merenung dan memberitahukan kaumnya pada malam kedua bahwa bulan adalah
tuhannnya. Kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui atau tidak memiliki kapasitas
logika yang cukup atau kecerdasan yang cukup, bahwa sebenarnya Ibrahim ingin
menyadarkan dengan cara sangat lembut dan dan penuh cinta. Bagaimana mereka
menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul atau terkadang
terbit dan terkadang tenggelam. Mula-mula kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui
yang demikian itu. Pertama-tama Ibrahim menyanjung bulan tetapi ternyata bulan
seperti bintang yang lain, ia pun muncul dan tenggelam: Allah SWT berfirman:
"Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan terbit dia
berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata:
'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.'" (QS. al-An'am: 77)
Kita perhatikan di sini bahwa beliau berbicara dengan
kaumnya tentang penolakan penyernbahan terhadap bulan. Ibrahim berhasil
"merobek" keyakinan terhadap penyernbahan bulan dengan penuh
kelembutan dan ketenangan. Bagaimana manusia menyembah tuhan yang terkadang
tersembunyi dan terkadang muncul. Sungguh, kata Ibrahim, betapa aku
membayangkan apa yang terjadi padaku jika Tuhan tidak membimbingku. Nabi
Ibrahim mengisyaratkan kepada mereka bahwa beliau memiliki Tuhan, bukan seperti
tuhan-tuhan yang mereka sembah. Namun lagi-lagi mereka belum mampu menangkap
isyarat Nabi Ibrahim. Beliau pun kembali menggunakan argumentasi untuk
menundukkan kelompok pertama dari kaumnya, yaitu penyembah bintang. Allah SWT
berfirman:
"Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia
berkata: 'Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.' Maka tatkala matahari itu
terbenam, dia berkata: 'Hai kaumkku, sesungguhnya aku berlepas dirt dari apa
yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'" (QS. al-An'am:
78-79) Ibrahim berdialog dengan penyembah matahari. Beliau memberitahukan bahwa
matahari adalah tuhannya karena dia yang terbesar. Lagi-lagi Ibrahim memainkan
peran yang penting dalam rangka menggugah pikiran mereka. Para penyembah matahari
tidak mengetahui bahwa mereka menyembah makhluk. Jika mereka mengira bahwa ia
adalah besar, maka Allah SWT Maha Besar. Setelah Ibrahim memberitahukan bahwa
matahari adalah tuhannya, beliau menunggu saat yang tepat sehingga matahari itu
tenggelam dan ternyata benar dia bagaikan sembahan-sembahan yang lain yang
suatu saat akan tenggelam. Setelah itu Ibrahim memploklamirkan bahwa beliau
terbebas dari penyernbahan bintang.
Ibrahim mulai memandang dan memberikan pengarahan kepada
kaumnya bahwa di sana ada Pencipta langit dan bumi. Argumentasi Ibrahim mampu
memunculkan kebenaran, tetapi sebagaimana biasa kebatilan tidak tunduk begitu
saja. Mereka mulai menampakkan taringnya dan mulai menggugat keberadaan dan
kenekatan Ibrahim as. Mereka mulai menentang Nabi Ibrahim dan mulai mendebatnya
dan bahkan mengancamnya. Allah SWT berfirman: "Dan dia dibantah oleh
kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah,
padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut
kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah,
kecuali jika Tuhanku mengendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan
Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apahah kamu tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) ? Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang
kamu persekutukan (dengan Allah) padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah
dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu
untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih
berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui)?'" (QS.
al-An'am: 80-81)
Kita tidak mengetahui sampai sejauh mana ketajaman
pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan bagaimana cara mereka
menakut-nakuti Nabi Ibrahim. Al-Qur'an tidak menyinggung hal tersebut. Namun
yang jelas, tempat mereka yang penuh kebatilan itu mampu dilumpuhkan oleh
Al-Qur'an. Dari cerita tersebut, Al-Qur'an mengemukakan Nabi bahwa Ibrahim
menggunakan logika seorang yang berpikir sehat. Menghadapi berbagai tantangan
dan ancaman dari kaumnya, Nabi Ibrahim justru mendapatkan kedamaian dan tidak
takut kepada mereka. Allah SWT berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan
iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. " (QS.
al-An'am: 82)
Allah SWT selalu memberikan hujah atau argumentasi yang kuat
kepada Nabi Ibrahim sehingga beliau mampu menghadapi kaumnya. Allah SWT
berfirman:
"Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada
Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki
beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
" (QS. al-An'am: 83)
Ibrahim didukung oleh Allah SWT dan diperlihatkan kerajaan
langit dan bumi. Demikianlah Nabi Ibrahim terus melanjutkan penentangan pada
penyembahan berhala. Tentu saat ini pergulatan dan pertentangan antara beliau
dan kaumnya semakin tajam dan semakin meluas. Beban yang paling berat adalah saat
beliau harus berhadapan dengan ayahnya, di mana profesi si ayah dan rahasia
kedudukannya merupakan biang keladi dari segala penyembahan yang diikuti
mayoritas kaumnya. Nabi Ibrahim keluar untuk berdakwah kepada kaumnya dengan
berkata:
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah
kepadanya? Mereka menjawab: 'Kami mendapati bapak-bapak Kami
menyembahnya." Ibrahim berkata: 'Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu
berada dalam kesesatan yang nyata.' Mereka menjawab: 'Apakah kamu datang kepada
kami sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang yang bermain-main?' Ibrahim
berkata: 'Sebenarnya tuhan kamu adalah Tuhan langit dan burnt yang telah
menciptakan-Nya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas
yang demikian itu.'" (QS. al-Anbiya': 52-56)
Selesailah urusan. Mulailah terjadi pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya. Tentu yang termasuk orang yang paling menentang beliau dan marah kepada sikap beliau itu adalah ayahnya dan pamannya yang mendidiknya laksana seorang ayah. Akhirnya, si ayah dan si anak terlibat dalam pergulatan yang sengit di mana kedua-duanya dipisahkan oleh prinsip-primsip yang berbeda. Si anak bertengger di puncak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah berdiri bersama kebatilan. Si ayah berkata kepada anaknya: "Sungguh besar ujianku kepadamu wahai Ibrahim. Engkau telah berkhianat kepadaku dan bersikap tidak terpuji kepadaku." Ibrahim menjawab
0 comments:
Posting Komentar
kritik saran silahkan tinggalkan, kami dengan senang hati untuk memperbaiki